IMPLIKASI PENERAPAN LAJUR KHUSUS BUS PADA JALAN TOL LAYANG


Penulis: Alvinsyah (Peneliti IUTRI)

Rencana pembangunan 6 ruas jalan tol DKI merupakan isu kontroversial yang telah berlangsung sejak 9 tahun yang lalu. Nampaknya ada beberapa faktor kemungkinan yang menyebabkan rencana ini sulit untuk dihindarkan, antara lain:

Faktor pertama dan utama yang dapat ditengarai adalah tertuangnya rencana ini pada berbagai regulasi mulai dari tingkat peraturan presiden, instruksi wakil presiden, peraturan daerah dan peraturan gubernur sendiri, yang artinya rencana ini merupakan amanat yang “harus” diimplementasikan, siapapun Gubernurnya.

Kedua, adalah faktor finansial yang secara filosofis tidak akan membebani APBD karena menggunakan dana swasta untuk pembangunannya dan pengembalian investasi berikut pemeliharaannya dari dana pengguna melalui tarif tol.

Ketiga, konsep rancang bangun jalan ini akan diimplementasikan secara layang dan berada diatas ruang milik jalan yang ada sehingga dampak lingkungan dan sosialnya bisa direduksi.

Ke empat, secara tata krama dan etika hubungan kepemerintahan sepertinya ada nuansa tenggang rasa untuk menjaga kewibawaan pejabat dari instansi lain bahkan pejabat dari insitusi yang lebih tinggi terhadap keputusan yang telah dibuat.

Kelima, rancang bangun dasar rencana ini sudah tuntas, rekomendasi Amdal dalam proses finalisasi.

Namun isu sentralnya apakah 6 ruas tol ini akan mampu menguraikan kemacetan secara signifikan dalam konteks ruang dan waktu, sehingga rencana ini, terlepas dari tidak adanya penggunaan APBD dalam pembangunan dan pengoperasiannya, terkesan menjadi prioritas utama yang sejajar dengan urgensi pengembangan sistem angkutan massal yang perlu segera di implementasikan.

Karena masih banyak isu penting sekitar rencana ini yang masih harus diselesaikan nampaknya persyaratan untuk mengakomodasikan jalur angkutan (massal) umum bisa menjadi gerbang masuk terhadap diskursus untuk menjamin bahwa rencana ini memang benar-benar penting untuk segera direalisasikan.

Karena jalan layang ini dioperasikan dengan konsep Tol, persyaratan diatas sebenarnya bukan hal yang “nyeleneh”, karena RTRW DKI 2030 memang mensyaratkan adanya pelayanan angkutan umum (massal) pada koridor yang akan dibangun jalan Tol. Namun persyaratan ini kesannya tidak terlalu mengikat/kuat karena tidak dinyatakan dengan kata “harus” namun dengan kata “dapat”, juga tidak jelas apakah jalur angkutan umum ini merupakan lajur khusus yang harus berada pada jalan tol atau pada pada ruas jalan yang berada dibawahnya.

Ada dua opsi yang bisa dilakukan yaitu opsi lajur khusus di lajur median atau opsi “mixed traffic” (atau lajur khusus) pada lajur bahu. Karena persyaratan operasional jalan bebas hambatan adalah jalan untuk lalu lintas dengan mobilitas tinggi serta akses yang dibatasi pada jarak tertentu, maka secara teknis opsi lajur khusus pada jalur median bisa dilaksanakan sejauh titik keluar masuk kendaraan angkutan massal berada di ujung-ujung ruas tol.

Namun, nampaknya konsep rancang bangun yang telah disiapkan hanya menyediakan lajur khusus pada lokasi halte dengan prinsip “lay-bay” yang berada disisi bahu jalan dan mixed traffic sepanjang koridor. Konsep ini berpotensi menimbulkan konflik (Merging/Diverging) lalu lintas pada lokasi setiap halte. Situasi ini tidak memenuhi persyaratan dari prinsip dasar jalan bebas hambatan (Tol) yaitu jalan dengan akses terbatas pada jarak tertentu dan sangat berpotensi terhadap terjadinya gangguan dan kecelakaan lalu lintas, kecuali jarak antar halte dibuat sejauh mungkin (2 km). Namun inipun menyimpang dari konsep angkutan massal jalan raya perkotaan yang jarak antar haltenya perlu lebih rapat untuk meningkatkan aksesibilitas dan menambah potensi pengguna. Oleh karenanya lajur khusus pada median nampaknya lebih tepat dan lebih aman untuk diimplementasikan.

Hal ini sangat disayangkan, karena jika saja pihak pemrakarsa dan pemerintah mau lebih serius dan berupaya lebih keras untuk merealisasikan pemikiran awal dari konsep tol ini dengan menerapkan kebijakan “Earmarking” & “Pricing Policy”, tentunya persyaratan untuk menerapkan lajur khusus yang terkesan sangat dipaksakan ini tidak perlu terjadi.

Karena kewenangan jalan tol berada pada pemerintah pusat, diperlukan suatu kesepakatan tertulis dan mengikat terhadap persyaratan lajur khusus angkutan umum ini agar bisa direalisasikan secara benar dan sesuai dengan esensi yang diharapkan. Hal ini penting untuk mengantisipasi agar persyaratan ini tidak diimplementasikan secara “basa-basi” mengingat adanya kendala teknis, regulasi dan bisnis yang dihadapi.

Penting untuk menjadi perhatian semua pihak, khususnya pihak pemrakarsa, untuk menyiapkan strategi penanganan terhadap potensi kemacetan baru melalui kajian yang holistik pada skala makro, meso dan mikro yang tidak sebatas hanya pada lokasi titik keluar masuk tol. Sebagai ilustrasi, titik awal Tol di kampung Melayu merupakan salah satu lokasi yang paling kritis yang berpotensi untuk menyedot lalu lintas dari berbagai arah khususnya wilayah Timur DKI yang dapat berdampak pada penurunan kinerja jaringan dan simpang-simpang pada radius tertentu.

Akan lebih bijak bila semua pihak, terutama Pemrakarsa dan Kementrian PU, bersedia untuk menunggu sekitar 1-2 tahun kedepan untuk mendapat pembelajaran dengan memantau efektifitas dari dua jalan layang non tol yang sudah dan akan dioperasikan. Harapannya dari hasil observasi lapangan, akan diperoleh gambaran yang lebih konkrit dan faktual tentang situasi dan kondisi dari 6 ruas tol ini bila dioperasikan setelah kurun waktu tertentu, karena prinsip dasar operasional dari kedua tipe jalan ini sama.

Pada akhirnya apapun yang diputuskan oleh Pemerintah, mudah-mudahan “persyaratan” lajur khusus pada 6 ruas tol ini dipertahankan secara teguh dan konsisten dengan mengacu ke Pasal 29 ayat 3& ayat 4 dan Pasal 22 ayat 2 dari Perda Nomor 01/2012 tentang RTRW DKI 2030.