Penulis :
a, b Indonesian Urban Transport Institute
a E-mail:alvinsyah@iutri.org
b E-mail:edy_hadian@iutri.org
Wacana reklamasi kawasan Pantura DKI Jakarta yang terdiri dari 17 pulau ini terus bergulir sejak tahun 1995. Namun, selama 20 tahun sejak ditetapkan secara resmi oleh Pemerintah, progres pembangunannya relatif sangat lambat yang pada saat ini baru satu pulau reklamasi yang telah selesai terbangun. Tentunya fenomena ini sangat menarik untuk dicermati, karena selama dua dekade ini, diskursus antara kelompok atau pendapat yang mendukung dan menentang tidak pernah surut, bahkan lebih mencuat di bulan-bulan terakhir sehubungan dengan akan ditetapkannya Peraturan Daerah (Perda) tentang kawasan reklamasi ini oleh pemerintah propinsi DKI Jakarta.
Terlepas dari pro dan kontra tentang isu ini, keberadaan kawasan reklamasi nampaknya merupakan suatu keniscayaan dan hanya tinggal menunggu waktu saja apakah cepat atau lambat saja terealisasinya.
Dengan asumsi bahwa kawasan ini akan terbangun suatu saat, maka tentunya tidak dapat dipungkiri akan memberikan dampak baik yang bersifat negatif maupun positif terhadap lingkungan, sosial dan ekonomi serta berbagai aspek kehidupan lainnya di wilayah DKI Jakarta khususnya dan bahkan di kawasan Jabodetabek. Hal ini sulit untuk dinafikan karena dengan luas sekitar 5,400 ha yang hampir mencapai 10% dari luas total DKI wilayah daratan, maka tentunya akan timbul aktifitas yang tinggi didalam kawasan reklamasi maupun interaksinya dengan wilayah daratan DKI.
Oleh karenanya, untuk meminimalkan dampak yang bersifat negatif, perencanaan kawasan dan kebijakan yang akan ditetapkan harus dilakukan secara cermat dan dengan penuh kehati-hatian.
Salah satu dampak yang berpotensi bersifat negatif adalah bertambahnya besaran dan intensitas pergerakkan masyarakat dan barang dari dan ke kawasan reklamasi ini.
Bila hal ini tidak diantisipasi dengan baik dan tepat maka bisa menimbulkan petaka mengingat kondisi kinerja sistem transportasi secara umum dan lalu lintas khususnya untuk saat ini di wilayah DKI Jakarta masih jauh dari kondisi yang seharusnya. Kondisi ini belum bisa dipastikan untuk masa 10 tahun kedepan ini akan membaik secara signifikan sehubungan dengan rendahnya kemampuan pemerintah untuk menyediakan prasarana transportasi yang memadai dan kemampuan untuk menekan pertumbuhan kendaraan pribadi yang beroperasi dijalan.
Jumlah dan intensitas pergerakkan yang tinggi merupakan konsekuensi logis dari pembangunan yang berbiaya mahal, karena untuk dapat mengembalikan investasi, intensitas aktifitas di masing-masing pulau harus dibuat setinggi mungkin. Mengacu ke peraturan gubernur DKI Jakarta nomor 121/2012 yang mengatur kawasan reklamasi, pembangunan dengan intensitas yang tinggi sangat dimungkinkan karena nilai koefisien lantai bangunan (KLB) yang diizinkan bisa mencapai angka 5. Artinya bila nilai ini ditransformasikan kedalam bentuk fisik bangunan, maka bagunan-bangunan pencakar langit dengan kepadatan tinggi merupakan suatu keniscayaan.
Implikasi dari aktifitas bangunan pencakar langit dengan kerapatan yang tinggi, adalah adanya aktifitas pergerakkan/perjalanan yang tinggi pula. Kelanjutan dari fenomena ini adalah kebutuhan akan sarana dan prasarana transportasi yang memadai untuk melayani pergerakkan internal di masing-masing pulau dan antar pulau di kawasan reklamasi serta pergerakkan dari dan menuju kawasan daratan DKI.
Yang menjadi isu kritikal dan perlu menjadi perhatian khusus untuk sitasi ini adalah besarnya pergerakkan antara kawasan daratan DKI dengan kawasan reklamasi. Seperti diketahui ketimpangan antara sisi pasokkan dengan permintaan perjalan di wilayah DKI khususnya dan Jabodetabek umumnya sangat tinggi sekali, yang direfleksikan oleh tingkat kemacetan yang demikian parah terutama di jam-jam sibuk aktifitas masyarakat.
Hasil dari berbagai kajian tentang kinerja lalu lintas menunjukkan angka yang sangat memprihatinkan karena kecepatan tempuh rata-rata diberbagai koridor jalan diwilayah DKI dibawah 15 km/jam baik di jam sibuk pagi maupun jam sibuk sore. Dibeberapa koridor utama bahkan situasi ini seringkali berkepanjangan disepanjang hari sampai malam. Sementara dilain sisi layanan angkutan umum masih belum bisa dianggap sebagai alternatif mobilitas masyarakat karena kapasitas angkutnya yang rendah, tidak adanya konsep layanan yang menarik karena buruknya sistem pengelolaan dan rendahnya tingkat aksesibilitas dan mobilitas serta membutuhkan biaya yang relatif tinggi untuk dapat menyelasaikan suatu perjalanan secara utuh.
Dengan kondisi seperti ini tentunya tambahan beban pergerakkan dari aktitifitas kawasan reklamasi akan sangat berpotensi untuk memperburuk situasi karena tentunya pertumbuhan ekonomi dan wilayah tidak mungkin ditahan serta tidak ada jaminan bahwa aktifitas masyarakat di kawasan reklamasi bisa dikonsentrasikan didalam kawasan saja sehingga tidak akan membebani kawasan daratan DKI.
Sebagai gambaran, dari hasil kajian transportasi untuk kawasan reklamasi[1], kondisi kinerja lalu lintas eksisting dan prediksinya diilustrasikan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Kinerja Jaringan Jalan di DKI Jakarta
Grafik dari Gambar 1, menunjukkan bahwa bila tidak ada langkah solutif signifikan yang dilakukan, maka kinerja lalu lintas akan memburuk seiring dengan perjalanan waktu karena pertumbuhan tidak pernah bisa dihentikan. Namun agar tidak salah interpretasi, perlu dicatat bahwa grafik pada Gambar 1 diatas dihitung dengan metoda rata-rata aritmatik untuk kondisi di pagi hari pada jam-jam sibuk aktifitas. Sehingga nilainya terkesan relatif lebih tinggi dari yang dirasakan oleh masyarakat. Namun sebenarnya, kondisi yang dialami oleh masyarakat setiap hari pada saat menuju pusat kota Jakarta diilustrasikan oleh garis merah putus-putus (lihat Gambar 1). Bila pengembangan kapasitas jaringan dilakukan secara minimalis, maka tentunya kinerja jaringan diprediksi makin menurun dan untuk kondisi terberatnya relatif stabil karena beban lalu lintasnya sudah melampui kapasitas. Dari hasil kajian yang sama bila dilakukan upaya peningkatan hanya dengan penambahan jaringan maka peningkatan kinerjanya tidak terlalu signifikan seperti yang ditunjukan didalam Tabel 1.
Tabel 1. Peningkatan Kinerja Jaringan Jalan di DKI[2]
Mengacu kepada Perda nomor 1 tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah (RTRW) DKI 2030 yang mentargetkan kinerja (kecepatan tempuh) rata-rata jaringan jalan di DKI Jakarta di tahun 2030 harus mencapai minimal 35 km/jam, maka skenario ini masih jauh dari target kinerja yang diinginkan. Bila skenario penambahan kapasitas jaringan dijadikan andalan untuk mencapai target kinerja RTRW DKI 2030, maka akan membutuhkan biaya yang luar biasa besar dan akan merubah wajah kota secara signifikan karena penyediaan jalan baru sudah pasti dibangun secara layang yang belum tentu dapat mengurangi tingkat kemacetan secara lebih “permanen”. Bila skenario penambahan kapasitas jaringan ini didukung dengan kebijakan memindahkan pergerakkan masyarakat ke angkutan umum sebesar 60% sebagaimana yang ditargetkan dalam Perda nomor 1/2012 maka target kinerja jaringan jalan masih mungkin untuk dicapai sebagaimana yang ditunjukan dalam Tabel 1.
Sebagaimana telah djelaskan di paragraf sebelumnya, kawasan reklamasi bila telah aktif akan membangkitkan pergerakkan yang relatif tinggi yang bisa mencapai 120 ribuan perjalanan-orang di jam sibuk1 dan cenderung menggunakan kendaraan pribadi karena karakter dari kawasan yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga diprediksi hanya masyarakat yang mampu secara ekonomi yang bisa berdomisili di kawasan tersebut. Bila hal ini terjadi dan tidak ada jaminan aktifitas masyarakat menuju kawasan daratan DKI yang sampai sejauh ini masih merupakan magnet utama bagi kawasan jabodetabek bahkan nasional bisa diminimalkan, bahkan ekstrimnya ditiadakan, akan sangat memperburuk kinerja jaringan jalan. Bila kondisi ini disimulasikan dengan asumsi pemerintah melakukan upaya yang signifikan dengan menambah jaringan jalan dan angkutan umum/massal serta penerapan pembatasan lalu lintas dikawasan pusat sebagaimana diilustrasikan dalam Tabel 1, maka kinerja jaringan jalan diwilayah DKI akan tetap turun sebesar 33,4 %[3] (Gambar 2).
Gambar 2. Penurunan Kinerja Jaringan akibat Aktifitas Kawasan Reklamasi
Bila kondisi kinerja ini ditinjau pada lingkup yang lebih kecil lagi yaitu dikawasan Jakarta Utara yang berbatasan langsung dengan kawasan reklamasi, maka dengan asumsi rencana pengembangan jaringan jalan sebagaimana dalam Perda nomor 1/2012 direalisasikan, maka hampir semua simpang dikawasan Jakarta Utara yang bisa dijadikan akses ke pulau-pulau reklamasi berpotensi mengalami persoalan besar karena kapasitas tampungnya sudah terlampaui atau secara sederhana mengalami kemacetan yang cukup parah seperti yang diilustrasikan dalam Gambar 3.
Gambar 3. Titik-tik koneksi Daratan & Reklamasi dengan Potensi Kemacetan[4]
Tentunya kondisi ini sangat tidak diinginkan oleh semua pihak, sehingga mengacu kepada hasil analisis dari kajian yang telah dilakukan, potensi permasalahan ini perlu disikapi dengan cermat dan tepat sehingga dampak negatif yang berpotensi terjadi bisa diminimalkan.
Bila para pemangku kepentingan khususnya pemerintah tidak berupaya secara maksimal untuk melakukan tindakan pencegahan yang sesuai dengan menerapkan kebijakan dan strategi yang tepat dan cenderung minimalis, maka dalam lingkup DKI dan Jabodetabek akan terjadi situasi yang jauh lebih buruk seperti yang ditunjukan dalam Gambar 4[5].
Ket: Skenario G=Penambahan kapasitas+pengalihan moda+pembatasan lalu lintas
Gambar 4. Perbandingan Kinerja Jaringan (Isochrone) di DKI Jakarta
Secara sederhana warna didalam Gambar 4 menunjukkan waktu tempuh rata-rata yang dibutuhkan untuk mencapai kawasan Ancol sebagai tutuk representasi pusat kawasan Reklamasi. Gradasi warna mulai dari biru tua yang artinya dibutuhkan waktu selama 15 – 30 menit untuk mencapai Ancol dan Gradasi warna merah yang artinya membutuhkan waktu lebih dari 3 jam untuk mencapai Ancol. Secara sederhana fenomena ini bisa menjadi indikasi untuk menyiapkan rencana dan kebijakan sistem transportasi yang benar-benar matang dan komprehensif agar situasi yang diprediksikan sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 4 bisa dihindarkan atau paling sedikit diminimalkan.
Tentunya tulisan singkat ini bukan dimaksudkan untuk menentang kebijakan pengembangan kawasan Reklamasi DKI Jakarta, namun untuk memberikan masukkan dan gambaran kepada semua pemangku kepentingan untuk lebih ber-hati-hati dan cermat dalam menyiapkan kebijakan dalam bentuk regulasi tentang pembangunan kawasan reklamasi sehingga fenomena yang berpeluang terjadi seperti yang telah dijelaskan tidak terjadi. Hal ini penting diketahui sejak awal, karena potensi permasalahan tidak serta merta langsung terjadi namun dengan asumsi dari kajian yang telah dilakukan, terjadinya di masa kurang lebih 15 tahun dari saat ini dan prosesnya terjadi secara bertahap yang seringkali tidak terasa karena terbiasa. Secara faktual rentang waktu terjadinya kondisi terburuk bisa lebih cepat atau lebih lambat dari yang diprediksikan, tergantung dari kebijakan dan situasi yang berlaku, namun yang perlu menjadi perhatian dan perlu pemantauan menerus adalah bila ada kecenderungan terjadinya kondisi ini lebih cepat dari yang diprediksikan. Bila hal ini luput dari perhatian maka yang pasti semua pihak akan merugi dan kawasan yang dicanangkan sebagai contoh dari kondisi Jakarta yang lebih baik yang direncanakan dengan seksama tidak akan terwujud.
Footnote
[1] www.iutri.org, Analisis Prakiraan Kinerja Jaringan Jalan Terhadap Penerapan Kebijakan RTRW DKI Jakarta 2030, diakses Maret 2016
[2] www.iutri.org, Analisis Prakiraan Kinerja Jaringan Jalan Terhadap Penerapan Kebijakan RTRW DKI 2030, diakses Maret 2016
[3] Analisis Dampak Aktifitas Kawasan Reklamasi Pantura Terhadap Kinerja Jaringan Jalan di DKI Jakarta, Jurnal MTI (akan diterbitkan), April 2016
[4] Studi Sistem Transportasi Kawasan Reklamasi Pantura, Laporan Akhir, Bappeda DKI Jakarta, 2013
[5] Analisis Dampak Aktifitas Kawasan Reklamasi Pantura Terhadap Kinerja Jaringan Jalan di DKI Jakarta, Jurnal MTI (akan diterbitkan), April 2016