PELUANG PENDANAAN MELALUI KONSEP “SHADOW TOLL” UNTUK PEMBANGUNAN JALAN ARTERI SEBAGAI ALTERNATIF PEMBANGUNAN 6 RUAS TOL DKI JAKARTA


PELUANG PENDANAAN MELALUI KONSEP “SHADOW TOLL” UNTUK PEMBANGUNAN JALAN ARTERI SEBAGAI ALTERNATIF PEMBANGUNAN 6  RUAS TOL  DKI JAKARTA[1]

Alvinsyah (Peneliti IUTRI)

 

Sejak diprakarsai dan dibahas dalam rapim DKI sekitar sepuluh tahun yang lalu rencana pembangunan 6 ruas Tol DKI tetap merupakan isu kontroversi yang menimbulkan situasi Pro dan Kontra sampai saat ini. Setiap pergantian Pimpinan di Pemprov DKI Jakarta kebijakan terhadap isu ini terkesan maju mundur dan selalu berakhir dengan ketidak pastian. Namun upaya untuk merealisasikannya tetap berjalan terus hingga tingkat penetapan kebijakan pada tingkat Peraturan Daerah (Perda) yaitu Perda nomor 01 tahun 2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030.

Salah satu masalah terbesar yang dialami Jakarta adalah defisiensi prasarana dan sarana transportasi baik untuk sistem kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Fakta dilapangan yang tidak bisa dinafikan adalah keberadaan jaringan jalan dengan fungsi arteri di Jakarta semakin berkurang sementara kota sekelas Jakarta mutlak memerlukan jaringan jalan dengan fungsi arteri secara memadai.

Fakta lain menunjukkan kecenderungan peningkatan kesejahteraan yang direfleksikan dalam pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi sebagai akibat pertumbuhan ekonomi secara makro dan buruknya pelayanan angkutan umum. Konsekuensi logisnya, senjang antara permintaan dan penyediaan makin lama makin membesar karena pertumbuhan pada dasarnya tidak pernah berhenti dan tidak dapat dihentikan, sementara kemampuan penyelenggara pemerintahan terutama aspek pendanaan sangat “terbatas”.

Dari hasil kajian terhadap rencana pengembangan jaringan jalan Tol di DKI mengindikasikan bahwa rencana ini berpotensi menimbulkan masalah kemacetan dan peningkatan kinerjanya belum mampu mencapai kinerja jaringan sebagaimana yang ditargetkan didalam RTRW DKI Jakarta 2030. Juga terindikasi bahwa peningkatan kinerja yang dicapai hanya akan berlaku dalam kurun waktu yang relatif tidak terlalu panjang bila “induced traffic” sebagai akibat dari “latent demand” diasumsikan terjadi.

Oleh karena itu salah satu rekomendasi yang sangat ditekankan adalah menerapkan kebijakan Earmarking. Hal ini didasarkan atas pemikiran awal bahwa Pemprov DKI dapat memiliki kewenangan khusus atau penuh untuk mengelola Tol ini seperti antara lain kebijakan pentarifan. Sehingga pada ruas Tol ini dapat diterapkan konsep Pricing Policy yang dikaitkan dengan standar pelayanan kinerja jalan Tol yang lebih terukur. Konsekuensi logis dari pemikiran ini, ruas Tol DKI tidak harus terkoneksi dengan jaringan Tol Jabodetabek lainnya sehingga lalu lintas yang diharapkan menggunakan Tol ini didominasi oleh pergerakan lokal wilayah DKI Jakarta dan tidak tercampur dengan pergerakan regional.

Sejak awal rekomendasi ini disadari sangat sulit untuk direalisasikan, mengingat regulasi yang berlaku tidak mendukung bahkan tidak memungkinkan sama sekali. Namun dengan pertimbangan bahwa dalam rentang waktu minimum lima tahun cukup realistis untuk menyiapkan aspek non teknis berikut regulasi yang dibutuhkan, maka penerapan konsep jalan Tol yang “not business as usual” dapat direalisasikan. Harapan utama dari pemikiran dasar ini adalah adanya potensi sumber dana non APBD untuk mendukung pembiayaan peningkatan dan operasional angkutan umum, kewenangan pengendalian kebijakan dalam konteks pemenuhan tingkat pelayanan melalui mekanisme pentarifan dan tentunya adalah penambahan kapasitas jaringan.

Namun sangat disayangkan dalam perjalanan pematangan rencana ini, nampaknya pihak pemrakarasa dan pemerintah tidak tertarik untuk merealisasikan “pemikiran dasar” tersebut dan nampaknya konsep yang akan direalisasikan adalah konsep Tol “business as usual” dengan penyediaan “lajur khusus” angkutan umum.

Mengacu kepada tekad Pimpinan Pemprov DKI saat ini untuk menerapkan kebijakan yang radikal, dan dengan berasumsi bahwa rencana ini tetap ingin direalisasikan demi argumentasi menambah “road ratio”, sebagaimana yang diamanatkan dalam Perda No. 01 tahun 2012 tentang RTRW DKI Jakarta 2030, sepertinya perlu dipertimbangkan wacana untuk membangunnya dengan konsep jalan Arteri (layang) non Tol, seperti yang telah direalisasikan di tahun 2012 yang lalu, sehingga kewenangan akan penuh berada di pihak Pemprov DKI.

Mungkin wacana ini  dapat dipertanyakan karena akan menambah beban APBD. Namun mengingat “pemikiran dasar” dari rencana 6 ruas Tol DKI ini dan juga keniscayaan bahwa kebijakan “Road Pricing” di Jakarta dapat segera diterapkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 97 tahun 2012 tentang hal ini, maka wacana ini bisa dijadikan opsi untuk didiskursuskan lebih lanjut dengan mempertimbangkan strategi pendanaan yang tepat agar program pembangunan bisa tetap berjalan. Selain itu juga karena , bedasarkan pengalaman yang lalu, tidak munculnya kegaduhan dengan tingkat intensitas yang serupa untuk rencana jalan layang non Tol dibandingkan  6 ruas Tol.

Salah satu opsi mekanisme pendanaan yang bisa dipertimbangkan adalah dengan mengadopsi konsep “Shadow Toll” seperti yang pernah diterapkan dibeberapa negara Eropa beberapa waktu yang lalu, khususnya di negara Inggris Raya. Mekanisme ini merupakan salah satu bentuk dari strategi PPP (Public-Private Partnerships) atau PFI (Private Finance Initiative) yang menerapkan konsep BDFO (Design-Build-Finance-Operate). Secara prinsip mekanisme yang diterapkan mirip dengan mekanisme untuk jalan Tol, hanya saja tarif Tol tidak dibebankan kepada pengguna, tetapi dibayarkan oleh Pemerintah.

Secara umum, melalui konsep “Shadow Toll”, seperti halnya untuk konsep jalan Tol, memungkinkan Pemerintah untuk mendelegasikan pembangunan dan pendanaan suatu prasarana kepada suatu perusahaan swasta sebagai pemegang konsesi. Dalam hal ini, pemegang konsesi tidak mengumpulkan biaya Tol dari pengguna, namun memperoleh pembayaran dari Pemerintah yang didasarkan atas tingkat utilisasi prasarana tersebut. Konsekuensi dari penerapan sistem ini, Pemerintah harus menghitung jumlah lalu lintas yang menggunakannya dan membayar perusahan pemegang konsesi berdasarkan prinsip “pro rata” dan skala/kategori tarif yang telah ditetapkan sebelumnya. Besaran uang yang dibayarkan ini tidak hanya memperhitungkan tingkat/volume lalu lintas yang diukur tapi juga kinerja dari perusahaan pemegang konsesi. Kinerja ini dapat meliputi tingkat kemacetan, lamanya lajur ditutup akibat perbaikan, atau upaya peningkatan keselamatan dan lain sebagainya.

Sebagai suatu alternatif kebijakan untuk menjembatani kendala pembiayaan oleh pemerintah, konsep ini menjadi menarik untuk dipertimbangkan, karena alokasi dana APBD tidak dialokasikan sekaligus seperti layaknya untuk program pembangunan dengan mekanisme konvensional, sehingga akan sangat mengurangi alokasi dana pembangunan untuk sektor-sektor lainnya. Selain itu hal menarik lainnya adalah adanya pembagian resiko antara Pemerintah dengan perusahaan yang ditunjuk sebagai pemegang konsesi karena dengan diterapkannya konsep BDFO akan tercipta efesiensi efektifitas dan ketepatan waktu penerapan pembangunan serta jaminan tingkat layanan pada saat dioperasikan. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari adanya sifat komplementatif dari pembagian kompetensi pihak Pemerintah dan Perusahaan pemegang konsesi.

Mengacu pada pengalaman di negara lain, manfaat langsung yang dirasakan, bila dibandingkan dengan konsep jalan Tol, penerapan konsep ini mampu mereduksi atau menghilangkan potensi terjadinya perpindahan arus lalu lintas ke jalan non Tol karena pengguna tidak harus membayar biaya apapun untuk menggunakannya.

Manfaat lain dari penerapan konsep “Shadow Toll” ini antara lain:

  • Membantu untuk merealisasikan suatu proyek pembangunan jalan bila konsep Tol sulit atau tidak mungkin diterapkan.
  • Mengurangi resistensi masyarakat akibat persepsi terhadap konsep privatisasi dari “barang publik”.
  • Beban pendanaan yang besar untuk pembangunan bisa direduksi karena pembayarannya didistribusikan sepanjang masa konsesi.
  • Peluang memperoleh dana dari berbagai sumber selain dana masyarakat (APBD) untuk membayar “Shadow Toll” sangat terbuka.

 

Dilain sisi kelemahan dari konsep “Shadow Toll” ini adalah:

  • Masih tetap membutuhkan dukungan dana yang relatif lebih besar dari Pemerintah.
  • Dana pemerintah (APBD) berpotensi untuk mengkompensasi beban hutang swasta yang biasanya lebih mahal bila dibandingkan hutang yang dibuat oleh Pemerintah.
  • Komponen masyarakat non pengguna harus turut menanggung pembiayaan “Shadow Toll”.

 

Salah satu fitur yang membedakan konsep ini dengan konsep Tol yang sudah lazim diterapkan, adalah tarif nya bervariasi terhadap besarnya volume (arus) lalu lintas dibandingkan dengan tarif Tol yang merata sepanjang waktu operasional.

Walaupun konsep ini bisa menyelesaikan masalah resistensi atau penerimaan masyarakat terhadap proyek besar yang menggunakan dana masyarakat (APBD), tapi tetap meninggalkan beberapa permasalahan yang biasa dialami dalam penerapan konsep jalan Tol seperti antara lain:

  • Arus pendapatan sangat tergantung pada komposisi lalu lintas, faktor pertumbuhan dan mekanisme kenaikan tarif.
  • Potensi adanya ketidak sesuaian antara nilai tukar karena pendapatan biasanya berbasiskan mata uang lokal dan untuk dana pembangunan diperoleh dari dana pinjaman berbasiskan mata uang asing.
  • Resiko yang ada pada prasarana seperti pada titik koneksi dengan ruas jalan lainnya (titik masuk atau keluar jalur jalan “shadow Toll”)
  • Kapasitas prasarana, pemeliharaan dan penyediaan tingkat layanan terkait dengan variasi permintaan (volume lalu lintas).
  • Resiko dari kondisi lingkungan dan kondisi tanah dasar (masalah geoteknik).

 

Karena konsep “Shadow Toll/BDFO” membutuhkan proses yang relatif rumit, dampak pelibatan pihak-pihak yang berbeda kepentingan dan terikat oleh regulasi yang berbeda, ada beberapa hal yang bisa menjadi hambatan untuk bisa mengoperasionalisasikan konsep ini, seperti antara lain; ketersediaan atau kesiapan kerangka hukum, pendanaan karena resiko politik dan komersial yang tinggi yang seringkali sulit untuk bisa diatasi, penerimaan masyarakat karena isu privatisasi untuk “barang publik”, dan tentunya kapasitas dan kendala kompetensi sumberdaya manusia dari sisi Pemerintah untuk mengelola skema ini dengan benar dan tepat. Oleh karenanya penyiapan kerangka legal jangka panjang untuk proyek dengan skema seperti ini dan dialog publik yang intensif merupakan suatu keniscayaan, sehingga program pembangunan prasarana layanan publik bisa berjalan tanpa terkendala oleh terbatasnya kemampuan pendanaan.

Mengacu kembali kepada penjelasan di paragraf-paragraf awal, maka untuk mencari terobosan akibat kendala pendanaan untuk membangun suatu infrastruktur dasar yang membutuhkan dana yang sangat besar seperti pembangunan jalan sekelas jalan Arteri  di Jakarta, peluang penerapan konsep “Shadow Toll” mungkin dapat dieksplorasi lebih jauh lagi sebagai suatu opsi mekanisme pendanaan yang disatu sisi bisa mengurangi secara signifikan beban pembiayaan diawal pembangunan, dan dilain sisi kendali kewenganan masih tetap berada di Pemprov DKI, bila dibandingkan dengan menggunakan mekanisme pendanaan dengan sistem Tol. Lebih jauh lagi, dana yang ditanggung oleh masyarakat untuk pembiayaan dengan mekanisme “Shadow Toll” ini dapat tetap menjamin tingkat layanan yang jauh lebih terukur karena tertuang secara eksplisit dalam kontrak antara Pemerintah dan Perusahaan pemegang konsesi.

Berdasarkan pengalaman yang lalu lalu, Pemprov DKI Jakarta seringkali mengalami kendala untuk membuat dan menerapkan suatu kebijakan yang secara substantif dapat membantu menyelesaikan persoalannya, karena terbelengu oleh berbagai regulasi yang berlaku. Oleh karenanya, perlu dipikirkan secara serius untuk menggunakan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU. No29/2007) sebagai basis legal untuk menerapkan suatu kebijakan yang terkendala oleh regulasi lainnya. Tentunya hal ini bukan upaya yang mudah, namun tetap merupakan peluang agar tidak terjebak kepada situasi keterbatasan kewenangan dan kendala regulasi.

Perlu ditekankan lagi disini bahwa konsep “Shadow Toll” atau secara umum konsep kemitraan pemerintah dengan swasta (PPP) yang diwacanakan dalam tulisan ini, jangan dipandang sebagai representasi dari “obat ajaib” atau suatu penanganan cara cepat terhadap pembangunan suatu prasarana dan layanan, namun penekanannya lebih pada alternatif terhadap mekanisme pengadaan tradisional.

 

Pada akhirnya semua terpulang kepada niat baik dari Pemerintah untuk membangun dan mensejahterakan masyarakatnya. Oleh karenanya wacana yang telah dibahas diatas merupakan salah satu opsi yang tersedia dan sangat mungkin untuk diterapkan. Lebih jauh lagi konsep mekanisme pendanaan yang dibahas diatas pada dasarnya bisa diterapkan di kota/wilayah manapun yang mengalami situasi yang serupa. Rencana 6 ruas Tol DKI Jakarta diambil sebagai contoh kasus dalam  tulisan ini karena memang merupakan isu yang faktual dan belum terselesaikan sampai hari ini.

 

[1] Artikel ini disusun untuk dipublikasikan didalam Buku MTI