Penulis: Alvinsyah (Peneliti IUTRI)
DKI Jakarta sejak tahun 2004 bertekad untuk memprioritaskan pengembangan sistem angkutan massal, namun realitanya tekad ini berjalan ter-sendat2 sementara pembangunan jaringan jalan sepertinya tetap menjadi pilihan yang lebih menarik untuk direalisasikan. Situasi ini sangat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap komitmen pemerintah dan pada kondisi “zero trust” ini tidak mengherankan bila ada kelompok masyarakat yang terkesan mengharamkan pembangunan jalan sebagai upaya penanganan kemacetan di Jakarta.
Salah satu masalah terbesar yang dialami Jakarta adalah defisiensi prasarana dan sarana transportasi baik untuk sistem kendaraan pribadi maupun angkutan umum. Fakta menunjukkan kecenderungan peningkatan kesejahteraan yang direfleksikan dalam pertumbuhan kepemilikan kendaraan pribadi sebagai akibat pertumbuhan ekonomi secara makro dan buruknya pelayanan angkutan umum. Konsekuensi logisnya, senjang antara permintaan dan penyediaan makin lama makin membesar karena pertumbuhan pada dasarnya tidak pernah berhenti dan tidak dapat dihentikan, sementara kemampuan penyelenggara pemerintahan “terbatas”.
Kenyataan lain yang tidak bisa dinafikan adalah keberadaan jaringan jalan dengan fungsi arteri di Jakarta semakin berkurang sementara kota sekelas Jakarta mutlak memerlukan jaringan jalan dengan fungsi arteri. Namun dilain sisi, kota seperti Jakarta juga sangat tidak mungkin untuk tidak mengandalkan pelayanan sistem angkutan umum, karena fakta menunjukkan bahwa peran sistem angkutan umum di kota2 metropolitan sangat signifikan agar kota2 tersebut dapat berfungsi secara optimal dan sebaliknya intensifikasi jaringan jalan tidak serta merta mengurangi permasalahan kemacetan yang terjadi.
Sehingga yang menjadi isu sentralnya adalah bagaimana mengoptimalkan penggunaan ruang jalan dan kebijakan apa yang harus diprioritaskan, karena kedua sistem diatas mutlak perlu dikembangkan agar fungsi Jakarta sebagai kota Metropolitan dapat maksimal dari sisi pelayanan transportasinya. Oleh karena itu pendapat yang menyatakan tidak perlu lagi membangun jalan, kurang tepat karena dari berbagai sisi pandang jalan masih tetap dibutuhkan terutama untuk mengakomodasikan distribusi logistik. Dilain sisi bagi yang menyatakan bahwa pembangunan jalan mampu menguraikan kemacetan juga rasanya kurang tepat, karena fakta menunjukkan di kota2 Metropolitan yang memiliki sistem jaringan jalan yang ekstensif tetap saja mengalami tingkat kemacetan yang relatif parah.
Situasi dilematis ini tentunya menyulitkan bagi Pemerintah DKI, karena disatu sisi secara objektif peningkatan kapasitas jalan masih diperlukan namun di sisi lain masyarakat sudah skeptis kalaupun tidak mau dikatakan tidak percaya lagi terhadap janji2 muluk untuk meningkatkan sistem angkutan umum. Situasi ini dapat diilustrasikan dari kondisi sistem TransJakarta yang relatif stagnan (kekecualian untuk pengembangan fisiknya) setelah selama 10 tahun dioperasikan dan sistem angkutan umum eksisting yang relatif tidak mengalami perubahan setelah adanya sistem TransJakarta. Di sisi lain dalam kurun waktu dua tahun sejak diwacanakan, dua jalan arteri layang berhasil dibangun dan siap dioperasikan dalam waktu dekat, sehingga bisa menjadi preseden bagi implementasi dari rencana jaringan tol DKI.
Hal lain yang luput dari perhatian adalah tidak munculnya kegaduhan dengan tingkat intensitas yang serupa untuk rencana jalan layang non tol dibandingkan 6 ruas tol, sehingga perlu direnungkan mengapa terkesan adanya sikap “ambigu”.
Oleh karena itu tantangan terbesar bagi pimpinan tertinggi Pemprov DKI ini adalah bagaimana mengembalikan tingkat kepercayaan masyarakat melalui tindakan nyata dan konsisten serta lebih fokus untuk melakukan revolusi terhadap sistem pengelolaan dan jaringan sistem angkutan umum yang beroperasi saat ini dan tidak hanya sibuk membahas dan mewacanakan sistem yang baru.
Perlu direnungkan suatu ungkapan yang sangat menarik untuk bisa menilai orientasi dari visi para pemimpin kota dalam melaksanakan pembangunan (transportasi) kotanya yaitu “Apakah kota dibangun bagi manusia atau bagi kendaraan”.
Sejak dua dekade lalu, banyak pihak dengan kompetensi di bidang transportasi telah sangat merekomendasikan agar penyelesaian persoalan transportasi Jakarta saat itu dan potensi permasalahan di masa mendatang dilakukan dengan pendekatan kebijakan pengaturan permintaan. Ini didasarkan dari berbagai hasil kajian dan analisis di DKI dan di berbagai kota dunia yang menunjukkan bahwa penambahan jaringan jalan sebagai upaya penanganan kemacetan tidak pernah benar2 bisa mengurangi kemacetan, bahkan upaya ini berpotensi sebagai stimulan terhadap penambahan produksi dan penggunaan kendaraan pribadi sejalan dengan berjalannya waktu dan pertumbuhan ekonomi. Perlu dicatat secara legal formal kebijakan ini sebenarnya telah diamanatkan dalam RTRW DKI 2010 lalu dan tidak ada satupun kebijakan yang diterapkan dari sisi ini kecuali kebijakan 3 in 1 yang lebih dikarenakan adanya kegiatan KTT Negara2 non Blok.
Oleh karenanya, secara ideal, akan sangat elegan bila urutan prioritas untuk menyelesaikan permasalahan transportasi di DKI Jakarta adalah memaksimalkan pembangunan sistem angkutan umum yang diikuti dengan melakukan pengaturan permintaan (seperti pembatasan penggunaan kendaraan pribadi) dan baru berikutnya mulai melakukan pembangunan jaringan jalan sesuai dengan kebutuhan sebagai konsekuensi logis dari dampak kedua kebijakan sebelumnya.
Memang secara teknis operasional pembangunan secara paralel antara sistem angkutan umum dan jalan raya sangat dimungkinkan, namun mengingat nuansa psikologis publik saat ini, strategi ini cenderung menjadi kurang menarik dan cenderung kontraproduktif.
Sangat penting untuk diperhatikan bahwa penyelesaian dari sektor tranportasi saja tidak akan pernah memberikan solusi yang maksimal, karena pada dasarnya transportasi adalah akibat bukan sebagai penyebab, sehingga penanganan disektor lainnya yang menimbulkan “kebutuhan untuk bertransportasi” juga mutlak harus dilakukan.
Hasil dari suatu kajian terhadap rencana pengembangan jaringan jalan Tol di DKI mengindikasikan bahwa rencana ini berpotensi menimbulkan masalah kemacetan dan peningkatan kinerjanya belum mampu mencapai kinerja jaringan sebagaimana yang diharapkan. Juga terindikasi bahwa peningkatan kinerja yang dicapai hanya akan berlaku dalam kurun waktu yang relatif tidak terlalu panjang bila “induced traffic” sebagai akibat dari “latent demand” diasumsikan terjadi.
Oleh karena itu salah satu rekomendasi yang sangat ditekankan adalah menerapkan kebijakan Earmarking. Hal ini didasarkan atas pemikiran awal bahwa Pemprov DKI dapat memiliki kewenangan khusus atau penuh untuk mengelola tol ini seperti antara lain kebijakan pentarifan. Sehingga pada ruas tol ini dapat diterapkan konsep Pricing Policy yang dikaitkan dengan standar pelayanan kinerja jalan tol yang lebih terukur. Konsekuensi logis dari pemikiran ini, ruas tol DKI tidak harus terkoneksi dengan jaringan tol Jabodetabek lainnya sehingga lalu lintas yang diharapkan menggunakan tol ini didominasi oleh pergerakan lokal wilayah DKI Jakarta dan tidak tercampur dengan pergerakan regional.
Sejak awal rekomendasi ini disadari sangat sulit untuk direalisasikan, mengingat regulasi yang berlaku tidak mendukung bahkan tidak memungkinkan sama sekali. Namun dengan pertimbangan bahwa dalam rentang waktu minimum lima tahun cukup realistis untuk menyiapkan aspek non teknis berikut regulasi yang dibutuhkan, maka penerapan konsep jalan tol yang “not business as usual” dapat direalisasikan. Harapan utama dari pemikiran dasar ini adalah adanya potensi sumber dana non APBD untuk mendukung pembiayaan peningkatan dan operasional angkutan umum, kewenangan pengendalian kebijakan dalam konteks pemenuhan tingkat pelayanan melalui mekanisme pentarifan dan tentunya adalah penambahan kapasitas jaringan.
Namun sangat disayangkan dalam perjalanan pematangan rencana ini, nampaknya pihak pemrakarasa dan yang berwenang tidak tertarik untuk merealisasikan “pemikiran dasar” tersebut dan saat ini nampaknya konsep yang akan direalisasikan adalah konsep Tol “business as usual” dengan penyediaan “lajur khusus” angkutan umum.
Selain masalah teknis operasional, dari aspek pengusahaan yang biasanya dituangkan dalam “business plan”, konsep “lajur khusus” ini sepertinya belum atau tidak dipetimbangkan. Sehingga potensi pendapatan yang diprediksi dari jumlah lalu lintas akan berkurang dengan perubahan jumlah lajur dari tiga menjadi dua. Tentunya hal ini akan sangat mengganggu skema pengusahaan secara menyeluruh terkait dengan prediksi pendapatan tol, perioda konsesi, skema pengembalian dana kepada kreditor dan aspek terkait lainnya, sehingga menjadi pertanyaan apakah mungkin satu lajur direlakan begitu saja tanpa adanya kompensasi?
Untuk melihat sejauh mana konsep ini akan efektif untuk membantu menyelesaikan permasalahan kemacetan di Jakarta, menarik untuk dipertimbangkan, untuk menunggu selama kurun waktu 1-2 tahun kedepan dengan mencermati sejauh mana efektifitas dari pengoperasian jalan layang non tol yang sudah dibangun (Antasari & Casablanca), karena pada prinsipnya pelayanan jalan ini sama dengan jalan tol hanya saja pengguna tidak perlu membayar tarif tol. Sehingga perdebatan dapat lebih konkrit karena didasarkan pada data faktual pengamatan dilapangan dan semua pihak dapat melakukan pengamatan dan pemantauan secara terbuka.
Mengacu kepada tekad Pimpinan Pemprov DKI untuk menerapkan kebijakan yang radikal, dan dengan berasumsi bahwa rencana ini tetap ingin direalisasikan demi argumentasi menambah “road ratio”, sepertinya perlu dipertimbangkan wacana untuk membangunnya seperti konsep jalan layang non tol, sehingga kewenangan akan penuh berada di pihak Pemprov DKI.
Mungkin wacana ini dapat dipertanyakan karena akan menambah beban APBD, namun mengingat “pemikiran dasar” dari rencana 6 tol ini dan juga keniscayaan bahwa kebijakan “Road Pricing” di Jakarta segera bisa diterapkan dengan terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 97 tahun 2012 tentang hal ini, sepertinya wacana ini bisa dijadikan opsi untuk diskursuskan lebih lanjut.
Dengan ber andai2 bahwa hal ini bisa diterapkan, maka kedepannya ada peluang untuk menerapkan kebijakan “Road Pricing” pada minimum 8 ruas jalan layang (bebas hambatan) di Jakarta. Dengan memisahkan diskurus dikotomi angkutan umum dan kendaraan pribadi, hal yang perlu dikaji secara komprehensif dalam konteks jangka panjang, sejauh mana penggunaan dana APBD menjadi “justified” untuk digunakan bila skema “Road Pricing” diterapkan pada 6 ruas rencana ini.
Dari pengalaman selama ini, seringkali pihak Pemprov DKI Jakarta terkesan sulit untuk melakukan suatu kebijakan yang secara substantif dapat membantu menyelesaikan persoalannya karena terbelengu oleh berbagai regulasi yang berlaku. Namun dengan adanya Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU. No29/20097), sepertinya perlu dipikirkan secara secara serius untuk menggunakannya sebagai basis legal untuk menerapkan suatu kebijakan yang terkendala oleh regulasi lainnya. Tentunya hal ini bukan upaya yang mudah, namun tetap merupakan peluang agar tidak terjebak kepada situasi keterbatasan kewenangan dan kendala regulasi.
Pada akhirnya apapun yang diputuskan dan diimplementasikan oleh Pemerintah, mudah2 an akan memberikan manfaat yang se besar2 nya dan semoga catatan dan pemikiran sederhana ini dapat bermanfaat dan menambah informasi yang layak diketahui oleh semua pihak agar diskursus tentang isu ini bisa lebih produktif dan tidak kontraproduktif.